Selasa, 12 Mei 2009



EKSEKUSI SEBENARNYA PERLU DILAKSANAKAN
APA TIDAK?

I. PENDAHULUAN
Kata “eksekusi” sebenarnya sudah tidak asing lagi terdengar di telinga kita. Di setiap surat kabar, koran, majalah bahkan di media elektronikpun banyak ditemui kata “eksekusi” ini. Bahkan kata “eksekusi” ini menjadi perdebatan yang menghebohkan di kalangan para intelektual, orang-orang di pemerintahan dan masyarakat. Kalau kita berpikir, sebenarnya ap yang dimaksud dengan kata “eksekusi” ini, sampai-sampai banyak diperbincangkan banyak orang?
Dengan latar belakang dan tujuan sistem eksekusi ini sebenarnya banyak masyarakat mengalami banyak perdebatan. Beberapa pihak mendukung akan adanya sistem eksekusi ini dijalankan, akan tetapi ada beberapa pihak yang menolak akan adanya sistem eksekusi ini dijalankan. Sampai sekarangpun perdebatan itu belum mendapat titik temu yang pasti, apakah sistem eksekusi ini perlu dijalankan oleh suatu negara atau tidak.
Sejak dahulu kala kata bahkan sistem “eksekusi” ini telah dijalankan oleh beberapa Negara, terutama negara Indonesia. Akan tetapi sekarang ini beberapa negara memutuskan untuk menghapuskan sistem eksekusi ini karena dianggap bertentangan dengan hal kengerian dan perikemanusiaan. Akan tetapi di negara Indonesia, sistem eksekusi ini masih dijalankan sampai sekarang. Sebenarnya apa yang melatarbelakangi negara Indonesia tetap menjalankan sistem eksekusi ini?
Manusia diciptakan Allah dengan sempurna dengan dibekali akal dan pikiran yang tiada dipunyai oleh makhluk ciptaan lainnya. Dengan anugerah inilah manusia mulai membuat sistem-sistem di dalam kehidupan ini termasuk sistem eksekusi ini. Pikiran dan hasil pikiran manusia tidak sepenuhnya seturut dengan kehendak Allah, ada kalanya pikiran dan hasil pikiran manusia tersebut meleset atau melenceng dari jalur Allah. Sistem eksekusi merupakan hasil pikiran manusia untuk menciptakan ketentraman negaranya, akan tetapi apakah sistem ini sesuai dengan kehendak Allah atau bahkan melenceng dari kehendak Allah?.




II. ISI
Kata “eksekusi” berasal dari bahasa Inggris “execution” yang berarti penghukuman mati dengan pengesahan dan penandatanganan. (Echols dan Hassan sadily, 1976, p. 223). Hukuman mati dijatuhkan pada terdakwa dengan pengesahan dan penandatanganan oleh hakim melalui sistem peradilan. Menurut Leden Marpaung, eksekusi merupakan bentuk hukum pidana terberat dari semua bentuk hukum pidana yang diancamkan terhadap berbagai kejahatan yang sangat besar. (Marpaung, 2005, p. 107). Hukum yang dirasa paling berat oleh terdakwa adalah eksekusi karena hukuman ini merupakan hukuman yang menghilangkan seseorang dari kehidupan di dunia ini.
Eksekusi atau kata umumnya adalah hukuman mati atau capital punishment akar katanya berasal dari caput (bahasa Latin). Kata ini dipakai orang Romawi untuk mengartikan kepala, hidup, hak masyarakat atau hak individu. Hukuman mati dimengerti sebagai hukuman yang dijalankan dengan membunuh orang yang bersalah. Dalam pengertian hukum, hukuman mati merupakan salah satu bentuk sanksi pidana yang mengandung keseluruhan ketentuan-ketentuan dan larangan-larangan sekaligus memaksa si terhukum. (http://etikahidup. blogspot. com/).
Hukuman mati atau eksekusi ini dibebankan dan diberikan kepada terdakwa dengan beberapa kesalahan atau melakukan kejahatan yang besar. Kejahatan yang dapat menyebabkan seorang terdakwa dijatuhi hukuman mati atau eksekusi ini adalah pembunuhan dengan perencanaan, pencurian dengan kekerasan dan pemberontakan kepada negara. Akan tetapi sekarang ini negara Indonesia menambahkan kejahatan yang dapat pula dihukum mati atau eksekusi ini adalah memproduksi atau penyimpan serta pengedar narkotika dan psikotropika.
Kejahatan-kejahatan tersebut telah diatur dan disahkan oleh Undang-undang pidana pemerintahan. Kejahatan seperti melakukan pembunuhan berencana telah diatur dalam pasal 340 KUHP, pencurian dengan kekerasan diatur dalam pasal 365 ayat 4, pemberontakan kepada pemerintah diatur dalam pasal 124 KUHP dan peraturan mengenai narkotika dan psikotropika.
Eksekusi pada dasarnya ditujukan kepada terdakwa dengan pelanggaran yang besar untuk memberikan rasa takut kepada masyrakat yang lainnya untuk tidak berbuat kejahatan yang sama besarnya sehingga mengakibatkan mereka harus dihukum mati. (Wiryono, 1986, p. 163). Dengan kecemasan, kekawatiran dan kengerian yang dirasakan oleh terdakwa hukuman mati atau eksekusi ini, diharapkan dapat memberikan gambaran kepada masyarakat lainnya yang akan berbuat jahat menggagalkan rencananya tersebut. Kalau masyarakat menggagalkan rencana perbuatan jahat mereka, maka secara tidak langsung negara akan aman dan tidak akan timbul kejahatan lagi.
Negara Indonesia memang sekarang terkenal dengan demokrasi, akan tetapi sistem hukuman mati atau eksekusi masih dijalankan di negara ini. Hal ini memang membawa daya tarik yang luar biasa untuk bahan perdebatan bahkan menurut data 20 tahun terakhir ini telah 69 orang yang terdaftar dalam eksekusi. (Tim Imparsial, 2006). Negara Indonesia menurut Wiryono menganggap hukuman mati atau eksekusi itu sebagai alat untuk keamanan negara dan negara mempunyai segala hak, yang tanpa itu negara tidak memenuhi kewajiban-kewajibannya termasuk mempertahankan tertib hukum. (Wiryono, 1986, p. 164). Oleh karena hal-hal tersebut dan mungkin banyak perihal atau alasan lain, negara Indonesia sampai sekarang masih menjalankan sistem eksekusi meskipun negara Indonesia termasuk demokrasi dan menjunjung tinggi asas pancasila.
Sistem eksekusi tidak hanya dijalankan untuk kepentingan keamanan dan ketentraman negara saja, namun terdapat kepentingan-kepentingan lain yang mendasari sistem eksekusi ini dijalankan. Kepentingan-kepentingan lain menurut data artikel dari imparsial bahwa sistem eksekusi merupakan daya upaya pihak atau penguasa untuk ruang pembalasan. Jika keluarga korban melihat bahwa terdakwa sudah diputuskan hakim mendapat hukuman mati atau eksekusi maka keluarga korban tersebut akan merasa lega dan merasa sudah menjadi pahlawan untuk membalas dendam saudaranya yang menjadi korban (menurut anggapan mereka, -reg). Akan tetapi jika terdakwa belum mendapat putusan hakim akan hukuman mati atau eksekusi, kebanyakan dari keluarga akan berusaha menuntut atau dengan cara apapun agar terdakwa dihukum mati atau dieksekusi.
Segala sesuatu di dunia ini menunjukkan tidak semua manusia itu menyetujui atau mendukung pada satu hal. Segala sesuatu yang dibuat atau dipikirkan manusia, mempunyai pihak-pihak yang mendukung (pro) ataupun pihak-pihak yang menentang atau menolaknya (kontra). Hal ini dikarenakan manusia diberi anugerah akal dan pikiran oleh Allah sebagai penciptanya dengan berbeda-beda antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Begitu halnya dengan sistem eksekusi yang di jalankan di beberapa negara termasuk negara Indonesia ini. Banyak sekali perdebatan-perdebatan antara pihak pendukung dan pihak penentang akan dijalankannya sistem tersebut.
Uraian di atas menjelaskan banyak sekali hal-hal yang mendukung adanya sistem eksekusi untuk dijalankan. Akan tetapi sekarang kita akan melihat bagaimana pendapat atau pandangan pihak-pihak yang tidak setuju dengan diadakannya sistem hukuman mati atau eksekusi ini. Pihak-pihak yang menentang akan sistem eksekusi ini dijalankan adalah pihak-pihak dari golongan yang menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM). Pihak-pihak yang menentang akan dijalankan sistem eksekusi ini juga berasal dari keluarga terdakwa.
Sistem eksekusi menurut pandangan pihak yang menentang sistem ini dianggap tujuannya tidak berjalan dengan semestinya. Hukuman mati atau eksekusi ini yang sebelumnya dianggap sebagai instrumen yang oleh sebagian kalangan dinilai mampu mengurangi tingkat kejahatan, ternyata menghasilkan sebaliknya. Hukuman mati tidak pernah terbukti mampu mengembalikan keadaan yang terganggu akibat suatu kejahatan. Hal ini terlihat dari data yang diperoleh tim Imparsial bahwa setelah beberapa terdakwa dijatuhi hukuman mati atau eksekusi bukannya tingkat kejahatan semakin menyusut, akan tetapi tingkat kejahatan tetap bahkan cenderung semakin meningkat. (Tim Imparsial, 2006).
Tim Imparsial juga menyatakan bahwa hukuman mati atau eksekusi sangat bertentangan dengan hak asasi manusia. Negara Indonesia merupakan member dari International covenant on civil and political rights dan dalam UUD 1945 pasal 28 A dan 28 I menyatakan bahwa setiap manusia berhak untuk hidup dan mendapat perlindungan hukum dan tiada yang dapat mencabut hak tersebut. (Tim Imparsial, 2006, p. 5). Akan tetapi Kecenderungan kehidupan dan esensi hak hidup seseorang (terdakwa) itu dalam kerangka kepemilikikan negara, dan atas nama hukum negara dapat menariknya kembali kapan itu dibutuhkan. Di sini negara telah bertindak sebagai pemilik dari hak hidup itu sendiri. (http://etikahidup. blogspot. Com/).
Menurut Marpaung, sistem eksekusi sebenarnya dapat dijalankan dalam suatu negara. sistem eksekusi dapat dilaksanakan jika seorang atau kelompok sebagai terdakwa atau pelaku telah menunjukkan bukti yang kuat dari perbuatannya bahwa keberadaannya sangat membahayakan masyarakat atau orang lain. (Marpaung, 2005, p. 108). Dalam hal ini terdakwa atau pelaku merupakan orang yang dapat dikatakan mengancam hilangnya nyawa atau kehidupan orang atau masyarakat lainnya. Sebagai negara, harus mengambil tindakan yang tegas yaitu hukuman mati atau eksekusi agar keberadaan terdakwa atau pelaku tidak membahayakan lagi di masyarakat atau orang lain.
Tim Imparsial dan penulis menanggapi atas pendapat yang dikemukakan oleh Wiryono, bahwa dalam membuat terdakwa atau pelaku tidak berbahaya lagi bagi orang lain bukan dengan jalan memberikan hukuman mati atau eksekusi. (http://etikahidup. blogspot. com/). Dengan memberikan hukuman kurungan puluhan tahun penjara atau pemberian hukuman seumur hidup dirasa sudah cukup memberikan pelajaran untuk terdakwa atau pelaku tidak berbahaya lagi bagi orang lain. Hal ini dibuktikan bahwa kebanyakan narapidana yang sudah puluhan tahun berada di penjara dan keluar dari penjara tidak melakukan kejahatan yang sama bahkan menjadi orang yang baik hati bahkan kebanyakan menyadari perbuatannya dan melakukan kegiatan yang tidak bertentangan dengan hukum.
Apabila memang sistem eksekusi ini masih tetap dipertahankan untuk dijalankan oleh suatu negara, maka keberatan-keberatan akan timbul dari berbagai kalangan. Keberatan yang dirasakan oleh keluarga korban eksekusi ialah bahwa hukuman mati atau eksekusi ini tidak dapat diperbaiki lagi apabila kemudian terbukti bahwa keputusan hakim yang menjatuhkan hukuman mati terdapat kekeliruan atau keterangan-keterangan yang ternyata tidak benar. (Wiryono, 1986, p. 165). Hal ini memang menjadikan keluarga korban eksekusi menjadi kecewa bahkan marah kepada peradilan dan keputusan hakim yang salah. Oleh karena itu untuk menjalankan sistem eksekusi, diharuskan hakim dapat menunjukkan bukti yang akurat dan bukti yang benar yang menunjukkan kesalahan terdakwa. Jika hakim salah menuduh atau salah memutuskan maka hal ini menjadi persoalan yang besar bagi terdakwa sebagai korban, peradilan maupun bagi negara.
Hal lain yang memberatkan akan dijalankannya sistem eksekusi ini terletak pada korban eksekusi ini. Seorang korban yang dihukum mati atau dieksekusi ini tidak memiliki kesempatan untuk memperbaiki dirinya. Dalam hal ini hukuman mati bernilai destruktif karena negara dianggap tidak menghargai maratabat luhur sebagai manusia. Seorang manusia pasti mempunyai perasaan untuk menyesal dan ada rasa untuk memperbaiki dirinya jika diberi kesempatan untuk memperbaiki dirinya tersebut. Negara yang bertanggung jawab kepada warganya seharusnya wajib mempertahankan nyawa warganya dalam keadaan apapun.
Menurut Thomas Hobbes, kodrat manusia pada dasarnya jahat dan destruktif. Manusia adalah adalah leviathan. Sosok iblis (buruk -ed) ada dalam diri manusia, terwujud dalam perilaku koruptif, tamak, dan jahat kepada rakyat. Namun, kodrat buruk tidak berarti tidak bisa diatasi. (http://etikahidup. blogspot. com/). Dengan memiliki sifat yang jahat yang dominan, manusia sebenarnya masih mempunyai sifat yang baik kepada orang. Sifat manusia yang buruk sekalipun dapat dirubah jika kita mau untuk memberikan kesempatan kepadanya untuk mau merubah dirinya tersebut.
Sistem eksekusi ini jika dilihat dari segi etika kekristenan pada dasarnya sangat bertentangan. Sistem eksekusi merupakan sistem yang dibuat oleh manusia atau lembaga yang bertujuan untuk menghilangkan nyawa seseorang. Hal ini bertentangan dengan perintah Allah dalam kesepuluh hukumnya yang diberikan kepada manusia dalam Keluaran 20:13 yaitu “jangan membunuh”. Dalam hal ini manusia tidak diperbolehkan saling membunuh baik dalam hal apapun.
Dalam hukum kekristenan juga dinyatakan bahwa membunuh atau mengeksekusi tidak diperbolehkan. Hal ini dapat dilihat dari kisah kehidupan Yesus di dunia dalam firmannnya yang tertulis di Alkitab. Terdapat beberapa hal yang menyatakan bahwa kita sebagai manusia tidak diperbolehkan untuk menyakiti bahkan membunuh orang lain. hal ini terlihat ketika Yesus tidak menghukum mati (rajam batu) kepada perempuan yang berbuat zinah (Yoh 8: 4-7). Ia tak pernah memakai kekerasan (membunuh) untuk menyelesaikan masalah.
Yesus juga mengajarkan kasih kepada manusia dengan firman-Nya yang terkenal: "Hukum yang terutama ialah: dengarlah hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hati dan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum yang kedua ialah: kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama daripada kedua hukum ini" (Mrk 12: 29-31). Dalam hal ini manusia dituntut untuk saling mengasihi sesamanya, dan mengasihi Allah dengan mentaati perintah-Nya.
Sebagai manusia atau pemerintah tidak diperkenankan bertindak sendiri atau menghakimi sendiri. Kehidupan manusia baik hidup maupun mati ada di tangan Allah, karena Allahlah yang menciptakan manusia dan tentunya yang mengakhiri kehidupan manusia di dunia ini. Oleh karena itu sebagai manusia ciptaan Allah tidak diperkenankan mengakhiri hidup manusia sesamanya. Dengan sistem eksekusi yang dijalankan untuk menghukum seseorang atas perbuatannya, dipastikan negara telah menyalahi aturan dan perintah Allah. Allah saja yang sebagai penguasa bisa mengampuni dosa manusia yang sangat besar, kenapa sebagai manusia yang lemah tidak dapat memberikan kesempatan kepada sesamanya untuk bertobat dan memperbaiki tindakannya.

III. APLIKASI
Negara Indonesia sekarang ini masih menjalankan sistem hukuman mati atau eksekusi, bahkan beberapa tahun yang lalu banyak yang menjadi terpidana hukuman mati atau eksekusi (Sumiyarsih, Sugeng, Tibo Cs, Amrozy dan lain-lain). Sistem eksekusi atau hukuman mati pada dasarnya sangat bertentangan dengan kehendak Allah dan sesuatu yang sangat dibenci oleh Allah. Sebagai orang yang percaya dan taat kepada Allah dan sebagai warga negara Indonesia yang baik, kita dapat melakukan hal-hal berikut:
ª Mengarah kepada pernyataan dari Konfusius yang menyatakan bahwa "Untuk menyehatkan dunia, kita lebih dulu harus menyehatkan bangsa; untuk menyehatkan bangsa, kita lebih dulu harus menyehatkan keluarga; untuk menyehatkan keluarga, kita lebih dulu harus menyehatkan kehidupan pribadi, kita harus menata hati dengan benar". (http://etikahidup. blogspot. Com/). Jadi segala sesuatu harus dimulai dari diri sendiri, dimulai dari pikiran, tutur kata, tindakan dan kebiasaan harus dapat menjadi contoh yang baik bagi orang lain.
ª Kita harus mengetahui siapa diri kita dan batasan-batasan diri kita. Pada dasarnya kita tidak setuju dengan diberlakukannya sistem eksekusi di negara kita, akan tetapi kita tidak langsung memberontak atau membangkang dari pemerintahan negara ini. Tindakan kita harus mencerminkan hal-hal yang diajarkan Kristus Yesus yang mengacu pada injil Markus 12:17, “berikan kepada kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada kaisar dan kepada Allah, apa yang wajib kamu berikan kepada Allah”. Jadi tindakan kita sebagai mahasiswa, harus belajar mengetahui hal-hal yang belum kita ketahui (hal eksekusi) dan menentang dengan memberikan masukan kepada negara melalui kritik yang membangun lewat surat kabar atau artikel-artikel. Sangat disayangkan jika sebagai mahasiswa menentang dijalankannya sistem eksekusi ini melalui jalur kekerasan (demonstrasi).

IV. KESIMPULAN
Eksekusi merupakan suatu tindakan hukuman mati bagi terdakwa atau pelaku yang melakukan kejahatan yang besar (pembunuhan berencana, pencurian dengan kekerasan dan lain-lain). Sistem eksekusi banyak mengalami perdebatan mengenai keefektifannya dilaksanakan di suatu negara atau sistem tersebut harus ditiadakan. sistem eksekusi ini menjadi bahan perdebatan karena sistem ini diperkuat untuk dijalankan untuk membuat efek takut kepada orang lain untuk tidak berbuat jahat lagi dan pada dasarnya untuk keamanan negara. sistem eksekusi ini diperlemah karena sistem ini sangat bertentangan dengan hak asasi sebagai manusia dan sangat bertentangan dengan hukum Allah.
Di negara Indonesia sendiri sampai sekarang ini sistem eksekusi masih dijalankan bahkan di beberapa tahun terakhir ini beberapa orang telah dieksekusi. Akan tetapi sistem eksekusi ini masih mengalami banyak perdebatan diantara beberapa pihak dan sampai sekarang perdebatan itu belum menemui jalan keluar. Sebagai warga kerajaan Allah dan sebagai warga negara yang baik diharapkan dapat memberikan hal yang terbaik untuk Allah dan negara. Hal-hal yang dilakukan adalah dengan menjadikan diri sebagai contoh yang baik bagi orang lain dan memberikan masukan kepada negara mengenai penolakan dijalankannya sistem ekekusi bukan dengan jalan kekerasan.











REFERENSI
Echols. J. M & Hassan Shadily. (1976). Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT Gramedia
Marpaung. L. (2005). Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika
Tim Imparsial. (2006). Jalan Panjang Menghapus Hukuman Mati. Jakarta: Imparsial
Wiryono. P. (1986). Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: PT Eresco
(http://etikahidup. blogspot. com/, Hukuman mati dihapus?. Sabtu, 25-10-2008, 23.00 (wib))

Tidak ada komentar:

Posting Komentar